Dia
Diadewi Ayu. Panggil saja Dia, si perempuan yang
ramah. Sangat ramah kata para anak laki-laki. Tetapi bagi anak-anak perempuan,
ia selalu berbasa-basi dengan sesama perempuan dan terlalu ramah dengan
laki-laki. Dan bagiku, Dia adalah monster jahat yang memiliki rupa bak
bidadari. Aku tidak terlalu mengenalnya, tetapi aku sudah buru-buru tidak
menyukainya. Mengapa? Karena ia mengambil sahabatku. Tidak, ia menelannya.
“Kenapa?
Bukankah ia manis? Ramah pula. Aku menyukainya dari dulu. Dia juga menyukaiku.
Dan aku yakin kami akan bertahan lama. Sudahlah, urus dirimu sendiri yang kacau
itu,” kata-kata Alex sedikit melukai hatiku. Tapi aku bisa memahaminya, mengapa
ia berkata seperti itu. Mereka memang baru saja memulai hubungan, dan Alex
yakin akan pilihannya. Bayangkan saja, kau baru memulai hubungan, tetapi
sahabatmu langsung menentangnya, dan
menjelek-jelekkan pacarmu di depanmu. Kau pasti akan meninggalkan sahabatmu.
Beginilah aku sekarang, menjadi sahabat yang
ditinggalkan. Aku menjalani hari-hari tanpa Alex. Di sekolah, ia duduk di dekat
Dia. Sore hari, waktu kami biasanya bermain PS bersama, sekarang selalu pergi
dengan Dia. Aku mulai bosan hidup tanpa Alex. Aku mulai bosan menonton video
lucu, mendengar tawaku tanpa dibarengi tawa Alex yang sama menggelegarnya
denganku. Aku juga mulai bosan bermain PS dengan adik-adikku yang menyebalkan
itu.
Karena aku bosan, aku mencari teman-teman baru untuk
ku ajak bermain. Mereka adalah Anton, Jago, dan Bima. Berteman dengan mereka
adalah jalan terbaik rupanya. Biar kuceritakan pertemananku dengan mereka,
mulai dari Anton.
Anton adalah laki-laki dengan kulit agak gelap,
berambut acak-acakan, dan ada beberapa jerawat yang menyembunyikan
ketampanannya. Ya, Anton memang tampan, tapi ketampanannya sangat tersembunyi,
hampir tidak kelihatan. Ia yang paling sering bermain denganku, jadi, aku tahu
banyak tentang kehidupan cintanya. Dari sekian banyak kisahnya, ada yang sangat
menarik hatiku, yaitu kisahnya dengan Dia.
“Aku menyukainya sejak SD. Bukan karena dia manis,
tapi karena ia sangat ramah padaku. Dia terus menerus memberiku perhatian
ekstra. Lama-kelamaan aku juga menyukainya. Sampai akhirnya aku memutuskan
untuk menyatakan cintaku padanya, saat liburan menjelang masuk SMA. Tapi Dia
menolakku, karena katanya, belum dibolehkan pacaran,” ia bercerita. Oh, oh, monster itu berdusta rupanya,
batinku. Aku pun hanya menepuk pundaknya, menenangkan. Anton tertawa pahit, aku
diam saja.
Sekarang si Jago. Aku tidak mengerti mengapa Ia
dipanggil Jago. Menurutku, ia adalah laki-laki yang lemah, hatinya lembut dan
sedikit mellow. Dia juga sedikit payah bagiku. Hanya bisa memainkan satu
permainan kartu, minuman.
“Aku bodoh. Aku terlalu mengaguminya. Senyumnya yang
ramah padaku, tubuhnya yang ramping, dan begitu indah gerakan tangannya ketika
merapikan poninya yang mulai menutupi wajahnya. Awalnya dia seperti sahabat.
Tapi aku merasakan ada yang berbeda, dia selalu baik padaku. Aku merasa damai
bila dekat dengan Dia....” ia menahan tangisnya, kemudian melanjutkan lagi.
“Aku pun bilang suka padanya, aku tidak meminta
jawaban. Tetapi katanya, Dia juga suka
padaku. Kemudian, tepat esoknya, ia mengganti statusnya menjadi berpacaran
dengan Bima,” tangisnya tumpah.
“Sudahlah, jangan berlebihan. Lupakan saja,” aku
menepuk pundaknya, menenangkan. Aku pun paham sekarang, mengapa dia dipanggil
Jago, karena dia memang jago mendramatisir kisah cinta.
“Heh, banci! Nangis mulu,” ternyata Bima sudah ada
di belakang kami, entah sejak kapan. Si Jago, yang sakit hati dipanggil
‘banci’, dengan cepat pergi. Sekarang di sini hanya aku dan Bima. Aku diam
sejenak.
“Bim, aku ingin tanya sesuatu padamu,”
“Kau ingin menginterogasiku tentang Dia, kan? Aku
sudah tau,” jawabnya seraya merapikan kartu yang tadi aku dan Jago mainkan.
Dari cara berbicaranya yang lebih ketus dari biasanya, ia pasti tidak mau
menceritakan apapun. Tapi aku terus mendesak dengan nada bicara yang sama
dengannya.
“Baik. Sedikit saja. Dulu aku playboy. Tetapi
setelah bertemu dengan Dia, aku jadi tidak pernah punya pacar lagi,”
“Sudah? Begitu saja?” aku sedikit bingung.
“Ceritakan lagi,”
“Ah! Menyebalkan. Bisa tidak, kau tak usah ikut
campur?”
“Aku tidak ikut campur dengan urusanmu. Aku juga
tidak peduli masalahmu. Tapi, aku rasa dengan aku mengumpulkan cerita tentang
Dia dari berbagai sumber, aku dapat menyelamatkan temanku,” Jawabku kesal, sama
ketusnya dengan Bima.
“Mengganggu saja. Baiklah. Dulu aku merasa Dia
adalah perempuan yang tepat untukku. Perempuan baik-baik, ternyata busuk.
Setahun kami berpacaran, setahun aku dibodohi. Aku telah melakukan apa yang aku
bisa, dengan tulus. Untuk pertama kalinya aku tulus mencintai. Namun, Dia
benar-benar membuatku merasa sia-sia. Tetapi aku tetap bersabar. Kemudian suatu
hari aku mengetahui bahwa dia sudah dekat dengan seseorang, dialah temanmu itu.
Makanya aku benci dengan temanmu. Tetapi setelah ku pikir-pikir, dia juga
korban, sama sepertiku. Tetapi ketika kau mengingatkan, temanmu itu malah
menjauh darimu kan? Seharusnya kau tak usah pedulikan dia lagi. Biarkan saja
dia melakukan yang ia inginkan, jika akhirnya kau benar, biar dia menyadarinya.
Toh jika itu jalan terbaik, tak ada
yang tahu kan?” aku tidak percaya Bima bisa bicara sebanyak ini. Aku masih terdiam,
memikirkan kalimat terakhirnya.
Mungkin aku terlalu lama diam saja, Bima pun
akhirnya pamit pulang. Aku masih memikirkan itu. Apa benar seharusnya aku diam
saja? Tapi tidak bisa, aku merasa aku harus menyelamatkan temanku.
***
“Hai..” sapa Alex suatu siang saat aku duduk
sendirian di kantin kampusku.
“Oh, hai Lex. Apa yang kamu lakukan di sini?”
tanyaku sedikit kaget.
“Aku juga
kuliah di sini. Lama tak bertemu ya,”
“Iya, aku bahkan hampir tidak mengenalimu,” sebenarnya sejak kamu bersama Dia, aku juga
sudah tak mengenalimu, batinku.
“Aku ingin bicara padamu,”
“Katakanlah,” jawabku asal, seraya membuka laptop.
Ia pun bercerita mengenai Dia, “Benar katamu. Dia
memang seperti apa yang kamu ceritakan,”
Aku mulai antusias, “Lalu?”
“Aku yang memutuskannya. Aku lelah, mengalami semua
yang teman-temanmu pernah alami, yang kau ceritakan padaku. Makin lama,
perhatiannya padaku semakin berkurang. Hanya empat tahun hubungan kami
bertahan, dua tahun terakhir Dia seperti mencampakanku. Saat-saat seperti itu
lah, aku butuh sahabat sepertimu. Tapi aku tidak berani menemuimu, dan tadi
ketika aku melihatmu sendirian di sini, aku rasa ini saat yang tepat. Itulah
mengapa aku ke sini,” kemudian ia
berhenti sejenak.
“Aku ingin minta maaf padamu,” lanjutnya. Aku
tersenyum senang.
“Aku sadar selama ini kau yang selalu ada untukku.
Kau selalu melakukan yang terbaik untukku. Walaupun aku selalu jahat padamu,
tidak percaya padamu, dan menjauh darimu, kau tetap melakukan yang terbaik
untukku. Kamu juga tidak marah padaku. Aku sadar.....ternyata aku suka padamu,
Lea,” senyumku berangsur-angsur menghilang.
“Tapi aku tidak bisa,” jawabku setelah sekitar 20
menit berpikir. Aku tak mungkin merusak persahabatan kami. Sekali kami sahabat,
maka akan tetap menjadi sahabat selamanya, aku memilih tetap bersahabat
dengannya.
“Jangan terburu-buru, lebih baik kamu menenangkan
hatimu, dan mencari yang lain, yang lebih baik,” lanjutku, kemudian menepuk
pundaknya dan mengajaknya bersalaman.
“Selamat datang kembali, menjadi sahabatku. Dan
berjanjilah kita akan tetap menjadi sahabat yang baik,” ia tampak kecewa
sejenak, tetapi kemudian tersenyum mengerti.
“Oh, iya.. Bulan depan aku berangkat ke Perancis dan
hidup di sana. Maka datanglah di wisudaku besok Selasa, bertemu untuk terakhir
kalinya sebelum kita kembali berpisah,” kataku dengan hati-hati, agar tak
membuatnya kaget. Tetapi dia menanggapinya dengan santai.
“Jangan sombong setelah kau menetap di sana.
Datanglah jika aku membutuhkanmu,”
***
From : alex_foxy@yahoo.co.id
To : Leavanya96@yahoo.com
Date : 08/11/2024
Masih ingat kata-kataku
“datanglah jika aku membutuhkanmu”? sekarang aku benar-benar membutuhkanmu
untuk datang. Minggu depan aku menikah, bertempat di Bougenvil Garden, di kota
tempat kita lahir. Datanglah sebelum pukul 15.00, agar tak kehabisan makanan.
Kau kan suka sekali makan.
Jangan lupa datang. Aku
sangat menunggu kedatanganmu.
Dari sahabatmu, Alex.
Aku tersenyum lega setelah membaca e-mail dari Alex.
Ia akhirnya berhasil mencari yang tepat untuknya, setelah insiden enam tahun
yang lalu. Segera aku memesan tiket ke Indonesia untuk besok lusa, atau kapan
saja, secepat mungkin.
***
Tibalah giliranku untuk menyalami kedua mempelai.
“Hai, Lex,” sapaku.
“Lea? K...Kau
memanjangkan rambutmu?” Ia hampir tak mengenaliku. Aku hanya tertawa, kemudian
buru-buru melanjutkan menyalami istri dan mertuanya. Lalu aku berjalan
melintasi taman, ke sisi lain Bougenvil Garden yang indah ini.
Berseberangan dengan Alex dan keluarga barunya, aku
duduk sambil memangku gadis kecil cantik
yang sedari tadi menarik-narik rokku. Sesekali
aku mengusap kepalanya.
Tamu berpulangan, taman mulai sepi, dan gadis kecil
ini pergi menghambur mencari makanan yang ia suka. Ia turun dari pangkuanku
lalu menggandeng ayahnya yang bule
itu. Kulihat Alex menyalami beberapa tamu terakhir yang terlambat, kemudian
berjalan ke arahku. Wajahnya sumringah,
merona.
“Aku turut bahagia, sahabatku,” kataku sambil
tertawa.
“Terimakasih sudah datang jauh-jauh dari Perancis,
hanya untuk datang ke pernikahanku,”
“Aku ke sini tak hanya semata-mata untukmu. Aku
sekaligus ingin liburan,” kemudian aku merasakan ada yang menarik-narik rokku
lagi. Aku menoleh, ternyata gadis kecil yang cantik ini. Aku menggendongnya dan
mengenalkannya pada Alex.
“Sophie, ayo salaman dengan om ini. Namanya Om Alex.
Lex, ini Sophie, anak pertamaku,” Sophie menyalami sambil tersenyum lebar.
“Saya Dominique. Lea’s
husband,” Dom ikut menyalami Alex dan tersenyum dengan sangat ramah,
sedangkan Alex masih tampak tercengang sejak aku mengenalkan Sophie. Aku
tertawa geli melihat wajah bodohnya, bukan apa-apa, hanya saja wajahnya menjadi
tampak jelek dengan tuxedo keren yang
dipakainya.
“Kau terkejut?” tanyaku jahil.
“Ya, sangat-sangat terkejut. Tapi tak hanya kamu
yang bisa membuat kaget. Aku juga bisa,” kemudian ia memanggil istrinya.
Kulihat istrinya yang cantik berjalan anggun ke arah kami. Tetapi aku merasakan
perasaan yang aneh. Tapi.....
“Perkenalkan, ini istriku, Diadewi Ayu,”
***