Kamis, 22 Januari 2015

Cerpen Remaja? Here we go.....



Dia

Diadewi Ayu. Panggil saja Dia, si perempuan yang ramah. Sangat ramah kata para anak laki-laki. Tetapi bagi anak-anak perempuan, ia selalu berbasa-basi dengan sesama perempuan dan terlalu ramah dengan laki-laki. Dan bagiku, Dia adalah monster jahat yang memiliki rupa bak bidadari. Aku tidak terlalu mengenalnya, tetapi aku sudah buru-buru tidak menyukainya. Mengapa? Karena ia mengambil sahabatku. Tidak, ia menelannya.
Kenapa? Bukankah ia manis? Ramah pula. Aku menyukainya dari dulu. Dia juga menyukaiku. Dan aku yakin kami akan bertahan lama. Sudahlah, urus dirimu sendiri yang kacau itu,” kata-kata Alex sedikit melukai hatiku. Tapi aku bisa memahaminya, mengapa ia berkata seperti itu. Mereka memang baru saja memulai hubungan, dan Alex yakin akan pilihannya. Bayangkan saja, kau baru memulai hubungan, tetapi sahabatmu langsung menentangnya,  dan menjelek-jelekkan pacarmu di depanmu. Kau pasti akan meninggalkan sahabatmu.
Beginilah aku sekarang, menjadi sahabat yang ditinggalkan. Aku menjalani hari-hari tanpa Alex. Di sekolah, ia duduk di dekat Dia. Sore hari, waktu kami biasanya bermain PS bersama, sekarang selalu pergi dengan Dia. Aku mulai bosan hidup tanpa Alex. Aku mulai bosan menonton video lucu, mendengar tawaku tanpa dibarengi tawa Alex yang sama menggelegarnya denganku. Aku juga mulai bosan bermain PS dengan adik-adikku yang menyebalkan itu.
Karena aku bosan, aku mencari teman-teman baru untuk ku ajak bermain. Mereka adalah Anton, Jago, dan Bima. Berteman dengan mereka adalah jalan terbaik rupanya. Biar kuceritakan pertemananku dengan mereka, mulai dari Anton.
Anton adalah laki-laki dengan kulit agak gelap, berambut acak-acakan, dan ada beberapa jerawat yang menyembunyikan ketampanannya. Ya, Anton memang tampan, tapi ketampanannya sangat tersembunyi, hampir tidak kelihatan. Ia yang paling sering bermain denganku, jadi, aku tahu banyak tentang kehidupan cintanya. Dari sekian banyak kisahnya, ada yang sangat menarik hatiku, yaitu kisahnya dengan Dia.
“Aku menyukainya sejak SD. Bukan karena dia manis, tapi karena ia sangat ramah padaku. Dia terus menerus memberiku perhatian ekstra.­ Lama-kelamaan aku juga menyukainya. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk menyatakan cintaku padanya, saat liburan menjelang masuk SMA. Tapi Dia menolakku, karena katanya, belum dibolehkan pacaran,” ia bercerita. Oh, oh, monster itu berdusta rupanya, batinku. Aku pun hanya menepuk pundaknya, menenangkan. Anton tertawa pahit, aku diam saja.
Sekarang si Jago. Aku tidak mengerti mengapa Ia dipanggil Jago. Menurutku, ia adalah laki-laki yang lemah, hatinya lembut dan sedikit mellow. Dia juga sedikit payah bagiku. Hanya bisa memainkan satu permainan kartu, minuman.
“Aku bodoh. Aku terlalu mengaguminya. Senyumnya yang ramah padaku, tubuhnya yang ramping, dan begitu indah gerakan tangannya ketika merapikan poninya yang mulai menutupi wajahnya. Awalnya dia seperti sahabat. Tapi aku merasakan ada yang berbeda, dia selalu baik padaku. Aku merasa damai bila dekat dengan Dia....” ia menahan tangisnya, kemudian melanjutkan lagi.
“Aku pun bilang suka padanya, aku tidak meminta jawaban. Tetapi katanya, Dia  juga suka padaku. Kemudian, tepat esoknya, ia mengganti statusnya menjadi berpacaran dengan Bima,” tangisnya tumpah.
“Sudahlah, jangan berlebihan. Lupakan saja,” aku menepuk pundaknya, menenangkan. Aku pun paham sekarang, mengapa dia dipanggil Jago, karena dia memang jago mendramatisir kisah cinta.
“Heh, banci! Nangis mulu,” ternyata Bima sudah ada di belakang kami, entah sejak kapan. Si Jago, yang sakit hati dipanggil ‘banci’, dengan cepat pergi. Sekarang di sini hanya aku dan Bima. Aku diam sejenak.
“Bim, aku ingin tanya sesuatu padamu,”
“Kau ingin menginterogasiku tentang Dia, kan? Aku sudah tau,” jawabnya seraya merapikan kartu yang tadi aku dan Jago mainkan. Dari cara berbicaranya yang lebih ketus dari biasanya, ia pasti tidak mau menceritakan apapun. Tapi aku terus mendesak dengan nada bicara yang sama dengannya.
“Baik. Sedikit saja. Dulu aku playboy. Tetapi setelah bertemu dengan Dia, aku jadi tidak pernah punya pacar lagi,”
“Sudah? Begitu saja?” aku sedikit bingung. “Ceritakan lagi,”
“Ah! Menyebalkan. Bisa tidak, kau tak usah ikut campur?”
“Aku tidak ikut campur dengan urusanmu. Aku juga tidak peduli masalahmu. Tapi, aku rasa dengan aku mengumpulkan cerita tentang Dia dari berbagai sumber, aku dapat menyelamatkan temanku,” Jawabku kesal, sama ketusnya dengan Bima.
“Mengganggu saja. Baiklah. Dulu aku merasa Dia adalah perempuan yang tepat untukku. Perempuan baik-baik, ternyata busuk. Setahun kami berpacaran, setahun aku dibodohi. Aku telah melakukan apa yang aku bisa, dengan tulus. Untuk pertama kalinya aku tulus mencintai. Namun, Dia benar-benar membuatku merasa sia-sia. Tetapi aku tetap bersabar. Kemudian suatu hari aku mengetahui bahwa dia sudah dekat dengan seseorang, dialah temanmu itu. Makanya aku benci dengan temanmu. Tetapi setelah ku pikir-pikir, dia juga korban, sama sepertiku. Tetapi ketika kau mengingatkan, temanmu itu malah menjauh darimu kan? Seharusnya kau tak usah pedulikan dia lagi. Biarkan saja dia melakukan yang ia inginkan, jika akhirnya kau benar, biar dia menyadarinya. Toh jika itu jalan terbaik, tak ada yang tahu kan?” aku tidak percaya Bima bisa bicara sebanyak ini. Aku masih terdiam, memikirkan kalimat terakhirnya.
Mungkin aku terlalu lama diam saja, Bima pun akhirnya pamit pulang. Aku masih memikirkan itu. Apa benar seharusnya aku diam saja? Tapi tidak bisa, aku merasa aku harus menyelamatkan temanku.
***
“Hai..” sapa Alex suatu siang saat aku duduk sendirian di kantin kampusku.
“Oh, hai Lex. Apa yang kamu lakukan di sini?” tanyaku sedikit kaget.
“Aku  juga kuliah di sini. Lama tak bertemu ya,”
“Iya, aku bahkan hampir tidak mengenalimu,” sebenarnya sejak kamu bersama Dia, aku juga sudah tak mengenalimu, batinku.
“Aku ingin bicara padamu,”
“Katakanlah,” jawabku asal, seraya membuka laptop.
Ia pun bercerita mengenai Dia, “Benar katamu. Dia memang seperti apa yang kamu ceritakan,”
Aku mulai antusias, “Lalu?”
“Aku yang memutuskannya. Aku lelah, mengalami semua yang teman-temanmu pernah alami, yang kau ceritakan padaku. Makin lama, perhatiannya padaku semakin berkurang. Hanya empat tahun hubungan kami bertahan, dua tahun terakhir Dia seperti mencampakanku. Saat-saat seperti itu lah, aku butuh sahabat sepertimu. Tapi aku tidak berani menemuimu, dan tadi ketika aku melihatmu sendirian di sini, aku rasa ini saat yang tepat. Itulah mengapa aku ke sini,” kemudian ia  berhenti sejenak.
“Aku ingin minta maaf padamu,” lanjutnya. Aku tersenyum senang.
“Aku sadar selama ini kau yang selalu ada untukku. Kau selalu melakukan yang terbaik untukku. Walaupun aku selalu jahat padamu, tidak percaya padamu, dan menjauh darimu, kau tetap melakukan yang terbaik untukku. Kamu juga tidak marah padaku. Aku sadar.....ternyata aku suka padamu, Lea,” senyumku berangsur-angsur menghilang.
“Tapi aku tidak bisa,” jawabku setelah sekitar 20 menit berpikir. Aku tak mungkin merusak persahabatan kami. Sekali kami sahabat, maka akan tetap menjadi sahabat selamanya, aku memilih tetap bersahabat dengannya.
“Jangan terburu-buru, lebih baik kamu menenangkan hatimu, dan mencari yang lain, yang lebih baik,” lanjutku, kemudian menepuk pundaknya dan mengajaknya bersalaman.
“Selamat datang kembali, menjadi sahabatku. Dan berjanjilah kita akan tetap menjadi sahabat yang baik,” ia tampak kecewa sejenak, tetapi kemudian tersenyum mengerti.
“Oh, iya.. Bulan depan aku berangkat ke Perancis dan hidup di sana. Maka datanglah di wisudaku besok Selasa, bertemu untuk terakhir kalinya sebelum kita kembali berpisah,” kataku dengan hati-hati, agar tak membuatnya kaget. Tetapi dia menanggapinya dengan santai.
“Jangan sombong setelah kau menetap di sana. Datanglah jika aku membutuhkanmu,”

***

   From : alex_foxy@yahoo.co.id
  To   : Leavanya96@yahoo.com
  Date : 08/11/2024
  Masih ingat kata-kataku “datanglah jika aku membutuhkanmu”? sekarang aku benar-benar membutuhkanmu untuk datang. Minggu depan aku menikah, bertempat di Bougenvil Garden, di kota tempat kita lahir. Datanglah sebelum pukul 15.00, agar tak kehabisan makanan. Kau kan suka sekali makan.
  Jangan lupa datang. Aku sangat menunggu kedatanganmu.
  Dari sahabatmu, Alex.

Aku tersenyum lega setelah membaca e-mail dari Alex. Ia akhirnya berhasil mencari yang tepat untuknya, setelah insiden enam tahun yang lalu. Segera aku memesan tiket ke Indonesia untuk besok lusa, atau kapan saja, secepat mungkin.

***

Tibalah giliranku untuk menyalami kedua mempelai.
“Hai, Lex,” sapaku.
“Lea? K...Kau memanjangkan rambutmu?” Ia hampir tak mengenaliku. Aku hanya tertawa, kemudian buru-buru melanjutkan menyalami istri dan mertuanya. Lalu aku berjalan melintasi taman, ke sisi lain Bougenvil Garden yang indah ini.
Berseberangan dengan Alex dan keluarga barunya, aku duduk sambil memangku gadis kecil cantik  yang sedari tadi menarik-narik rokku. Sesekali aku mengusap kepalanya.
Tamu berpulangan, taman mulai sepi, dan gadis kecil ini pergi menghambur mencari makanan yang ia suka. Ia turun dari pangkuanku lalu menggandeng ayahnya yang bule itu. Kulihat Alex menyalami beberapa tamu terakhir yang terlambat, kemudian berjalan ke arahku. Wajahnya sumringah, merona.
“Aku turut bahagia, sahabatku,” kataku sambil tertawa.
“Terimakasih sudah datang jauh-jauh dari Perancis, hanya untuk datang ke pernikahanku,”
“Aku ke sini tak hanya semata-mata untukmu. Aku sekaligus ingin liburan,” kemudian aku merasakan ada yang menarik-narik rokku lagi. Aku menoleh, ternyata gadis kecil yang cantik ini. Aku menggendongnya dan mengenalkannya pada Alex.
“Sophie, ayo salaman dengan om ini. Namanya Om Alex. Lex, ini Sophie, anak pertamaku,” Sophie menyalami sambil tersenyum lebar.
“Saya Dominique. Lea’s husband,” Dom ikut menyalami Alex dan tersenyum dengan sangat ramah, sedangkan Alex masih tampak tercengang sejak aku mengenalkan Sophie. Aku tertawa geli melihat wajah bodohnya, bukan apa-apa, hanya saja wajahnya menjadi tampak jelek dengan tuxedo keren yang dipakainya.
“Kau terkejut?” tanyaku jahil.
“Ya, sangat-sangat terkejut. Tapi tak hanya kamu yang bisa membuat kaget. Aku juga bisa,” kemudian ia memanggil istrinya. Kulihat istrinya yang cantik berjalan anggun ke arah kami. Tetapi aku merasakan perasaan yang aneh. Tapi.....
“Perkenalkan, ini istriku, Diadewi Ayu,”

***